Nasional
AJI-PWI Kompak Tolak Revisi UU Pers di MK: Masalah Bukan Pasal, Tapi Pemerintah Abai
JAKARTA, Kaltimtoday.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberikan keterangan seragam di Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua organisasi ini kompak menolak uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang diajukan Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM).
Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Selasa (21/10/2025) tersebut, AJI dan PWI menilai bahwa masalah utama perlindungan jurnalis bukan terletak pada bunyi pasal dalam UU Pers, melainkan pada keengganan pemerintah dan aparat untuk menegakkan aturan tersebut.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menyampaikan bahwa Pasal 8 UU Pers sudah memberikan jaminan pelindungan hukum yang luas bagi jurnalis. Namun, tantangan terbesarnya adalah kurangnya implementasi pasal tersebut, terutama oleh pemerintah.
AJI: Perlindungan Seharusnya Berupa Bantuan Hukum
Menurut Bayu, pemerintah seharusnya lebih aktif memberikan perlindungan, sebagaimana diamanatkan Pasal 8 UU Pers. Bentuk perlindungan itu bisa berupa bantuan hukum bagi jurnalis yang dikriminalisasi, serta penegakan hukum tegas terhadap aparat yang melakukan kekerasan agar menimbulkan efek jera.
Bayu mencontohkan kasus gugatan perdata Rp 200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman ke Tempo, serta kasus pidana Pemred Banjarhits Diananta pada tahun 2020. Kedua kasus ini sudah mendapatkan keputusan dari Dewan Pers, tetapi diabaikan oleh Menteri maupun pihak Kepolisian.
AJI juga berpendapat bahwa permohonan IWAKUM—yang ingin membatasi perlindungan hanya pada konteks kepolisian atau gugatan—justru berpotensi menyempitkan makna perlindungan hukum yang sudah ada.
PWI: Jangan Sampai Diartikan Kekebalan Hukum
Senada dengan AJI, Ketua Umum PWI Akhmad Munir menegaskan bahwa masalah utama bukan pada substansi pasal, melainkan pada maraknya kasus kekerasan dan kriminalisasi di lapangan.
Munir menekankan pentingnya memaknai perlindungan hukum secara aktif dan komprehensif. Ia juga mengingatkan bahwa perlindungan hukum tidak boleh diartikan sebagai kekebalan hukum, melainkan sebagai perwujudan semangat konstitusi.
IWAKUM sebelumnya mengajukan dua alternatif tafsir Pasal 8 yang mengusulkan tindakan kepolisian hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Dewan Pers. Namun, usulan tersebut ditolak oleh AJI dan PWI, yang beranggapan bahwa masalah perlindungan ada di kualitas pelaksanaan penegakan hukum, bukan di pasal itu sendiri.
Persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini turut dihadiri tujuh hakim konstitusi lainnya, yang menyoroti bentuk konkret perlindungan hukum yang dibutuhkan jurnalis.
[TOS]
Related Posts
- Kilang RDMP Balikpapan Diresmikan 10 November, Bahlil Janji Stop Impor Solar 2026
- Rebranding Projo dan Pelajaran Transformasi Identitas Politik
- IKN Buka Sayembara Desain Pusat Kebudayaan di Lahan 33 Hektare
- Gaspol Tahap Dua! IKN Siap Bangun Kompleks Legislatif-Yudikatif Senilai Rp 11,6 Triliun
- IKN Disebut Ghost City Media Asing, Komisi II DPR Kritik Pola Komunikasi Otorita







