Opini
Pertemuan Puncak Perubahan Iklim: Quo Vadis COP?
Oleh: Doddy S Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau dan mantan negosiator COP-UNFCCC
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim tahunan sudah berada di pelupuk mata. Pada tanggal 10 sampai 21 November 2025, Konferensi Para Pihak (COP) yang telah mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP-UNFCCC) akan berlangsung di Belem, Brasilia. Ini adalah pertemuan puncak ke-30, yang berarti COP-UNFCCC telah berlangsung selama tiga dekade sejak COP-1 digelar di Berlin tiga puluh tahun yang lalu.
Tentu saja, terdapat beberapa hasil penting yang telah dicapai selama ini, tetapi sayangnya krisis iklim terus berlanjut. Dalam kenyataannya, selama tiga puluh tahun itu pertemuan iklim telah berkembang terlalu besar untuk bisa berlangsung secara efektif. Pertemuan-pertemuan iklim ini telah berkembang secara organik, tanpa arahan yang jelas. Jumlah peserta yang berpartisipasi setiap tahunnya terus meningkat secara fantastis: mulai dari COP-1 di Berlin pada tahun 1995 yang dihadiri kurang dari seribu peserta, hingga COP-28 di Dubai tahun 2023 yang dihadiri 60 ribu peserta. Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP-13 tahun 2007 yang dihadiri sekitar 20 ribu peserta.
Kisah Sukses dan Kegagalan COP
Selama tiga dekade berlangsungnya COP-UNFCCC, paling tidak terdapat tiga capaian penting (milestones). Yang pertama adalah Protokol Kyoto (KP) pada COP-3 tahun 1997, yang mewajibkan negara-negara maju (Annex-1 countries) untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka. Negara berkembang (Non-Annex 1 countries) hanya diwajibkan secara sukarela, berdasarkan prinsip CBDR (Common But Differentiated Responsibilities).
Capaian kedua adalah Bali Action Plan (BAP), hasil dari COP-13 di Bali tahun 2007. BAP meletakkan dasar-dasar solusi perubahan iklim global yang terdiri dari Mitigasi, Adaptasi, dan Means of Implementation (Pendanaan, Transfer Teknologi, dan peningkatan SDM perubahan iklim). BAP inilah yang kemudian direfleksikan dalam Perjanjian Paris (PP), capaian penting yang ketiga pada COP-15 tahun 2015. Berbeda dengan KP, PP mewajibkan semua negara—baik maju maupun berkembang—untuk menurunkan emisi GRK mereka.
Terlepas dari meningkatnya jumlah peserta, terdapat kisah sukses dan kegagalan dalam setiap pelaksanaan COP. Dalam kenyataannya, pertemuan COP sejauh ini berjalan amat lambat. Hal ini utamanya dikarenakan rangkaian agenda yang super padat, jumlah peserta yang luar biasa besar, dan kompleksitas politik dan diplomatik di antara para pihak yang terlibat dalam negosiasi.
Hambatan lainnya adalah lemahnya komitmen politik dari negara peserta yang menyebabkan kurangnya ambisi untuk menurunkan emisi dan rendahnya melakukan aksi iklim yang signifikan. Selanjutnya, kurangnya rasa percaya antarnegara telah menghambat upaya kolaboratif dan mempersulit kompromi. Dari perspektif negosiasi, proses UNFCCC mensyaratkan pendekatan berbasis konsensus, yang berarti bahwa setiap negara berpotensi menghalangi suatu keputusan, membuat upaya mencapai kesepakatan menjadi sangat sulit dan menantang.
Masalah pendanaan perubahan iklim nampaknya menjadi hambatan yang paling kritikal ketika negara-negara maju diminta membantu negara-negara berkembang dan miskin. Ketidaksepakatan mengenai pendanaan seringkali berujung pada kelambatan. Diskusi juga sering terhenti ketika isu-isu penting lainnya, seperti penghapusan bahan bakar fosil, dibayangi oleh pertentangan lain.
Pentingnya Mereformasi COP
Skala besar dan kemeriahan pertemuan tahunan COP dapat membebani proses pengambilan keputusan. Tuntutan logistik dapat menambah kompleksitas dan mengakibatkan keraguan Pemerintah untuk hadir di KTT iklim. Meskipun krusial, organisasi masyarakat sipil dan pelaku bisnis sering menghadapi hambatan untuk berpartisipasi secara bermakna, yang mengakibatkan hasil negosiasi mungkin tidak memenuhi kebutuhan mereka yang paling terdampak.
Setiap tahun, masalah-masalah tersebut terungkap, memicu gelombang kemarahan kepada Sekretariat UNFCCC. Walaupun demikian, tidak ada kewenangan eksekutif Presiden COP maupun Sekretariat UNFCCC untuk memerintahkan perubahan.
Mengubah cara kerja, skala, dan tujuan akan membawa pesan nyata bahwa yang lebih penting adalah melakukan tindakan nyata yang tidak memerlukan kedatangan peserta COP berbondong-bondong. Nampaknya Sekretariat UNFCCC terjebak dalam gagasan bahwa para pemimpin dunia harus selalu hadir di COP. Padahal yang diperlukan bukan kehadiran mereka, melainkan tindakan dan contoh nyata dalam memberikan kepemimpinan iklim.
Untuk memfasilitasi kepemimpinan iklim, maka penting dipertimbangkan untuk membangun platform regional(misalnya Asia Tenggara atau Pasifik) yang dapat menjadi pengubah permainan. Platform ini idealnya mendahului negosiasi global untuk mengkonsolidasikan posisi, menumbuhkan kepercayaan, dan mempercepat penyelarasan pada isu-isu utama seperti keuangan, loss and damage (kerugian dan kerusakan), serta transisi energi yang berkelanjutan. Dialog-dialog regional ini harus langsung masuk ke dalam agenda COP global, mengurangi duplikasi dan pertentangan selama sidang pleno. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co









